Bali memang unik. Banyak hal yang mesti dilihat kalau berwisata ke Pulau Dewata ini. Seperti halnya tradisi di Desa Pekraman Daup, Kintamani. Ratusan krama desa ini, Rabu (28/6/2017) , memadati halaman Pura Bale Agung, desa pakraman setempat untuk makan bersama. Kegiatan makan bersama yang dilaksanakan sekitar pukul 14.00 Wita itu merupakan bagian dari tradisi ngaturang lakon yang dilaksanakan sepuluh mantan peduluan (pemimpin adat) Desa Pakraman Daup.
Jero Penyarikan Payu didampingi Perbekel Daup Dewa Nyoman Saliawan menjelaskan, ngaturang lakon menjadi tradisi yang wajib dilaksanakan oleh para mantan peduluan di Desa Pakraman Daup. Mereka yang termasuk dalam peduluan di antaranya jero kubayan, jero bau, jero singgukan, jero nyarikan termasuk pemangku.
Sementara kemarin yang ngaturang lakon ada sepuluh warga. Tujuh di antaranya pernah menjabat sebagai jero kubayan, dua jero bau dan satu jero mangku. ”Ngaturang lakon ini maknanya untuk mengembalikan bukti atau persembahan yang pernah diterima saat menjadi peduluan. Dan melalui tradisi ngaturang lakon inilah bukti itu dikembalikan,” ungkapnya.
Dalam tradisi ngaturang lakon, warga yang pernah menjadi kubayan atau kedudukan tertinggi dalam sistem ulu apad, wajib menghaturkan banten upakara dan dua ekor babi. Sementara warga yang pernah menjabat sebagai jero bau serta pemangku hanya menghaturkan seekor babi. ”Dalam tradisi ngaturang lakon kali ini, total ada 17 ekor babi yang dipersembahkan,” ujarnya.
Dipaparkan Jero Penyarikan Payu, tradisi ngaturang lakon diawali dengan prosesi negtegang, nanceb taring dan ngingsah. Prosesi itu sudah dimulai sejak empat hari lalu. Sementara kemarin, prosesi yang dilaksanakan yakni mapiuning di Pura Puseh pada pagi hari. Selain membawa banten, dalam prosesi mapiuning itu babi yang akan dipergunakan juga dibawa ke Pura Puseh.
Selanjutnya pada siang hari, usai melaksanakan prosesi mapiuning krama kembali ke Bale Agung dan menyembelih semua babi untuk kemudian dibuat berbagai olahan. ”Sebagian daging babi diolah untuk persembahan, sebagian lainnya dipakai malang atau dibagi rata ke seluruh kepala keluarga dan lainnya diolah untuk sarana makan bersama dalam bentuk lawar, sate, dan jenis makanan lainnya,” jelasnya.
Jero Penyarikan Payu mengatakan, tradisi ngaturang lakon sejatinya bukan merupakan sebuah keharusan. Namun kalau tidak dilaksanakan hal itu akan menjadi utang niskala. ”Seseorang berhenti menjadi peduluan kalau semua anaknya sudah menikah,” imbuhnya. (BTN/kmb)